AYOOBATAM.COM – Jauh sebelum Batam menjelma menjadi pusat ekonomi dan pariwisata modern, sebuah nama terukir dalam lembaran sejarahnya: Nong Isa.
Bukan sekadar nama, melainkan tonggak awal pembangunan dan pemerintahan di pulau yang kini menjadi jantung ekonomi Indonesia ini. Kisah Nong Isa, yang bernama asli Raja Isa, merupakan perpaduan unik antara silsilah bangsawan, kepemimpinan visioner, dan jejak sejarah yang hingga kini masih terasa.
Lahir sebagai putra Raja Ali, Yang Dipertuan Muda Riau kelima— penerus tahta dari pahlawan legendaris Raja Haji Fisabilillah—Nong Isa mewarisi darah biru dan pengaruh besar dari kerajaan Riau-Lingga. Ibundanya, Raja Penuh, adalah putri Sultan Salehudin dari Selangor, menambah keistimewaan garis keturunannya.
Pernikahannya dengan Raja Buruk, putri Raja Abdulsamad, dan seorang istri lagi yang namanya tak tercatat sejarah, semakin memperkaya kisah hidupnya.
Nama Nong Isa, lebih populer daripada nama aslinya, Raja Isa, bergema di Pulau Penyengat dan arsip-arsip peninggalan Belanda. Daftar nama-nama penting di Riau kala itu selalu menyertakan namanya, berdampingan dengan tokoh-tokoh sekelas Raja Jakfar (Yang Dipertuan Muda Riau VI), Raja Ahmad (ayah Raja Ali Haji), Datuk Penggawa Ahmad, dan Arong Bilaawa.
Dari kedua istrinya, ia dikaruniai beberapa putra, termasuk Raja Yakup, Raja Idris, Raja Daud, dan Raja Husin. Keluarga besarnya mendiami Pulau Nongsa dan Sungai Nongsa, Batam, kecuali Raja Husin yang kemudian memilih menetap di Pulau Penyengat di usia lanjut. Bahkan, Raja Ali Haji sendiri, dalam karyanya Tuhfat al-Nafis, mencatat keberadaan keluarga besar Nong Isa di Sungai Nongsa.
Tetapi, lebih dari sekadar silsilah bangsawan, Nong Isa adalah seorang visioner. Ia adalah pendiri Kampung Nongsa, cikal bakal perkembangan Batam modern. Cerita rakyat dan silsilah dari Pulau Penyengat mengukuhkan peran pentingnya ini.
Nama “Nongsa” sendiri, diyakini berasal dari sebutan akrab “Nong Isa,” yang mengalami perubahan halus seiring perjalanan waktu dan perbedaan dialek.
Puncak peran Nong Isa dalam sejarah Batam ditandai dengan pengangkatannya sebagai penguasa Nongsa dan sekitarnya oleh Sultan Abdul Rahman Syah Lingga-Riau (1812-1832) dan Yang Dipertuan Muda Riau Raja Jakfar (1808-1832).
Kepemimpinannya menandai babak baru dalam pemerintahan lokal Batam. Setelah wafatnya pada tahun 1831, wilayah administrasi Nongsa berkembang pesat, meluas hingga mencakup seluruh Kepulauan Batam.
Pada tahun 1882, berdasarkan catatan J.G. Schot, Kepulauan Batam telah terbagi menjadi tiga wilayah administrasi (Wakilschap):
Wakilschap Nongsa:
Wilayah terkecil, membentang dari muara Sungai Ladi hingga muara Sungai Doeriankang, Kangboi, dan Asiamkang. Dipimpin oleh Raja Yakup, kemudian digantikan putranya, Raja Mohammad Saleh.
Wakilschap Buluh:
Meliputi Pulau Buluh dan sekitarnya (Belakang Padang, Sambu, Bualng Setoko, Remapang, Galang, dan sebagian Pulau Batam). Langsung berada di bawah kendali Yang Dipertuan Muda Riau melalui wakilnya, Raja Usman.
Wakilschap Sulit:
Wilayah terluas, mencakup Pulau Cembul, Kepala Jeri, Kasu, Telaga Tujuh, Sugi, Moro, Sangla (Shalar), Sandam, Durai, dan Kateman.
Sistem pemerintahan kemudian disederhanakan menjadi dua wilayah, masing-masing dipimpin oleh seorang Amir dan seorang Kepala, di bawah Kerajaan Riau-Lingga.
Nong Isa bukan hanya nama dalam catatan sejarah, tetapi legenda yang meletakkan dasar-dasar pemerintahan dan pembangunan Batam.
Kisahnya, yang terjalin antara silsilah bangsawan dan kepemimpinan visioner, menginspirasi dan mengingatkan kita akan pentingnya mengenang para perintis pembangunan negeri.
Sumber: Buku Nong Isa (Tonggak Awal Pemerintahan Batam)